DONATE
Close up image of a stack of newspapers

Court out – How Indonesia’s legal system is failing to properly punish timber criminals

(Gulir ke bawah untuk versi bahasa Indonesia)

 

LONDON: Indonesia’s legal system is failing to act against timber criminals, seriously undermining the country’s top-level efforts to tackle illegal logging and deforestation.

New research by the London-based Environmental Investigation Agency (EIA) and its Indonesian partner Kaoem Telapak (KT) reveals that enforcement action through the courts was taken against only a handful of companies out of more than 50 investigated which were proven to have either traded directly or indirectly in illegal timber.

And in one shocking case, Indonesia’s Supreme Court actually returned $1.6m worth of illegally acquired timber to a criminal found guilty of trading it and who had been given a jail sentence.

The report Criminal Neglect: Failings in enforcement undermine efforts to stop illegal logging in Indonesia is a forensic analysis of enforcement actions and court cases between 2018-20 involving companies and company directors prosecuted for trading illegal timber. It found that courts are routinely ignoring guidelines and rules, such as the 2008 Law on Public Information Disclosure, and are operating in a manner which is both secretive and fails to meet the court system’s legal obligations.

EIA Senior Forests Campaigner David Gritten said: “This lack of transparency, coupled with some seemingly irrational decisions by various courts, leads to the concern that many criminals are going unpunished or are having their punishments reduced with no explanation from the courts.”

In recent years, the Government of Indonesia has been making significant efforts to stop illegal logging and its associated trade, led by the Directorate General of Law Enforcement (DG Gakkum) under the Ministry of Environment and Forestry (MoEF).

But once forest crime cases reach the courts, inexplicable stumbling blocks and failings become apparent in the way cases are handled, including:

  • companies found guilty of trading in illegal timber are still allowed to retain their legitimate chain of supply/custody certificates;
  • companies remaining in business despite being found guilty of dealing in illegal wood and ordered to cease trading;
  • court verdicts which by law should be made public and yet are kept secret;
  • hardly any action taken against named directors of companies found guilty of trading in illegal timber.

One of the most egregious examples is the case of Henoch Budi Setiawan (commonly known as Ming Ho), the owner and director of CV Alco Timber Irian and CV Sorong Timber Irian, who ended up in court when his companies were caught up in DG Gakkum operations of December 2018 and January 2019 and implicated in the ownership of 81 seized shipping containers of illegal merbau, a valuable hardwood timber species threatened with extinction.

In October 2019, Sorong District Court sentenced Ming Ho to five years in prison and fined him IDR 2.5 billion ($178,200), decisions upheld by the Jayapura High Court the following December.

However, in July 2020 the Supreme Court reduced his jail time to two years and ordered that as much as 1,936m3 of the illegal timber be returned to him, valued at about $1.6 million and of significantly greater worth than his fine.

Elsewhere, more than 50 companies clearly implicated by the DG Gakkum crackdown in trading illegally logged merbau, principally used in parquet flooring and staircases, have not been sanctioned.

EIA and KT have asked the relevant authorities why there have been so few prosecutions, why companies are still allowed to operate and why court verdicts have remained secret; to date, there has been little satisfactory response.

KT Executive Director Abu Meridian said: “It is frustrating that DG Gakkum is doing so much to crack down on those trading in illegal timber, but it seems that the courts are undermining so much of the work.

“The Ministry of Environment and Forestry deserve significant praise for their efforts to stop illegal logging, but we still need to highlight the failures – not only in the courts, but also the continuing weaknesses in the county’s timber legality assurance system.”

 

CONTACTS FOR MEDIA

  • David Gritten, EIA Senior Forests Campaigner, via davidgritten[at]eia-international.org
  • Abu Meridian, Kaoem Telapak Executive Director, via abu.meridian[at]kaoemtelapak.org
  • Paul Newman, EIA Press & Communications Officer, via press[at]eia-international.org

 

EDITORS’ NOTES

  1. The Environmental Investigation Agency (EIA) investigates and campaigns against environmental crime and abuses. Our undercover investigations expose transnational wildlife crime, with a focus on elephants, pangolins and tigers, and forest crimes such as illegal logging and deforestation for cash crops such as palm oil; we work to safeguard global marine ecosystems by tackling plastic pollution, exposing illegal fishing and seeking an end to all whaling; and we address the threat of global warming by campaigning to curtail powerful refrigerant greenhouse gases and exposing related criminal trade.
  2. Kaoem Telapak (KT) is an environmental non-governmental organisation working across forestry, agriculture, fisheries and rights of local communities and indigenous peoples. KT is working to strengthen governance in these broad overlapping areas, including monitoring illegal and illicit activities, and communicating the findings. In 2016, KT grew out of Telapak, which was originally founded in 1996. KT is a member-based organisation.
  3. Read and download Criminal Neglect: Failings in enforcement undermine efforts to stop illegal logging in Indonesia at https://eia-international.org/wp-content/uploads/Criminal-Neglect-FINAL-SPREADS.pdf

 

Environmental Investigation Agency
62-63 Upper Street
London N1 0NY
UK
www.eia-international.org
Tel: +44 (0) 20 7354 7960

Kaoem Telapak
Jl. Sempur No. 5
Kel. Sempur Kec. Bogor Tengah
Bogor 16129 Jawa Barat – Indonesia
www.kaoemtelapak.org
Tel: +62 (0) 2518 576443

ends

 

Lolos dari pengadilan – ketidakmampuan sistem hukum Indonesia dalam menghukum para mafia kayu

BOGOR: Ketidakmampuan sistem hukum Indonesia dalam memidana para pelaku pembalakan dan perdagangan kayu ilegal sangat mencederai berbagai upaya pemerintah dalam mengatasi pembalakan liar dan deforestasi.

Riset terbaru oleh Kaoem Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkap bahwa dari setidaknya 50 perusahaan yang telah diselidiki dan terbukti menjual kayu ilegal secara langsung maupun tidak langsung, hanya kurang dari 10 perusahaan diproses hukum melalui pengadilan.

Salah satu kasus yang mengejutkan adalah ketika Mahkamah Agung mengembalikan kayu ilegal senilai 23,2 miliar rupiah kepada seorang penjahat kayu yang telah terbukti bersalah dan dipidana hukuman penjara.

Laporan berjudul “Criminal Neglect: Gagalnya Penegakan Hukum Dalam Menghentikan Pembalakan Liar di Indonesia” merupakan analisis tentang tindakan penegakan hukum dan proses peradilan terhadap sejumlah perusahaan dan direktur perusahaan karena memperdagangkan kayu ilegal pada tahun 2018-2020.

Laporan ini menjelaskan bahwa pengadilan tidak mengindahkan pedoman dan peraturan yang berlaku, seperti Undang-Undang (UU) No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tidak transparan dan serta tidak memenuhi kewajiban-kewajiban hukum yang seharusnya dipenuhi oleh lembaga peradilan.

Juru Kampanye Hutan Senior EIA, David Gritten, menuturkan, “Minimnya keterbukaan informasi dan diperparah dengan beberapa putusan pengadilan yang tampak irasional menimbulkan kekhawatiran mengenai banyaknya pelaku kejahatan yang bebas dari jeratan hukum atau mendapatkan keringanan hukuman tanpa adanya penjelasan dari pengadilan.”

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya signifikan untuk menghentikan pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, yang dipimpin oleh Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Namun ketika kasus kejahatan hutan sampai di pengadilan, tantangan dan ketidakmampuan dalam mengatasi kasus-kasus ini semakin tampak nyata. Hal ini terlihat dari kondisi sebagai berikut:

  • perusahaan yang terbukti bersalah menjual kayu ilegal masih tetap diizinkan mengeluarkan dokumen rantai pasok yang sah;
  • beberapa perusahaan yang telah terbukti bersalah memperdagangkan kayu illegal masih tetap beroperasi, meskipun perusahaan tersebut telah diperintahkan untuk ditutup operasinya oleh putusan pengadilan;
  • putusan pengadilan yang berdasarkan hukum seharusnya diungkapkan kepada publik, justru malah dirahasiakan; dan
  • hampir tidak ada tindakan yang dilakukan terhadap direktur dari perusahaan yang terbukti bersalah menjual kayu

Salah satu contoh yang paling mencengangkan adalah kasus Henoch Budi Setiawan (alias Ming Ho), pemilik dan direktur CV Alco Timber Irian dan CV Sorong Timber Irian yang berujung di pengadilan setelah perusahaannya terjaring operasi Ditjen Gakkum pada bulan Desember 2018 dan Januari 2019. Kasus ini berkaitan dengan kepemilikan 81 peti kemas hasil sitaan yang bermuatan kayu merbau ilegal. Kayu merbau merupakan spesies kayu keras bernilai tinggi yang terancam punah.

Pada bulan Oktober 2019, Pengadilan Negeri Sorong menjatuhkan hukuman lima tahun penjara dan denda 2,5 miliar rupiah kepada Ming Ho. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jayapura pada bulan Desember 2019.

Akan tetapi, pada bulan Juli 2020, Mahkamah Agung memutuskan mengurangi masa tahanan Ming Ho menjadi dua tahun dan memerintahkan agar kayu ilegal sebanyak 1.963 m3 dikembalikan kepadanya. Kayu ilegal ini bernilai sekitar 23,2 miliar rupiah; jauh lebih besar dari denda yang dikenakan kepada Ming Ho.

Sementara itu, ada lebih dari 50 perusahaan yang masih belum dikenakan sanksi padahal terlibat dalam penjualan kayu merbau yang ditebang secara liar, berdasarkan operasi penegakan hukum oleh Ditjen Gakkum.

Kaoem Telapak dan EIA telah menanyakan kepada otoritas terkait mengenai penyebab sedikitnya jumlah penuntutan, perusahaan yang masih diperbolehkan memiliki izin

operasi, serta putusan pengadilan yang dirahasiakan. Namun hingga saat ini, kami tidak menerima tanggapan yang memuaskan.

Direktur Eksekutif Kaoem Telapak, Abu Meridian, mengatakan, “Sungguh mengecewakan melihat fakta bahwa Ditjen Gakkum telah melakukan berbagai upaya untuk menindak tegas praktik penjualan kayu ilegal, tetapi pengadilan justru membuyarkan upayatersebut.

“KLHK patut mendapatkan apresiasi atas upayanya dalam menghentikan pembalakan liar. Namun penting bagi kita untuk terus melakukan monitoring terhadap ketimpangan hukuman yang terjadi pada sistem peradilan, serta kelemahan-kelemahan yang masih ada dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia.”

-Selesai-

 

NARAHUBUNG YANG DAPAT DIHUBUNGI MEDIA

  • Abu Meridian, Direktur Eksekutif Kaoem Telapak, via meridian[at]kaoemtelapak.org
  • David Gritten, Juru Kampanye Hutan Senior EIA, via davidgritten[at]eia-international.org
  • Sarah Rosemery M, Public Outreach Officer Kaoem Telapak, via megumi[at]kaoemtelapak.org
  • Paul Newman, EIA Press & Communications Officer, via press[at]eia-international.org

 

CATATAN EDITOR

  1. The Environmental Investigation Agency (EIA) melakukan investigasi dan kampanye terhadap tindak kejahatan dan penyalahgunaan lingkungan. Investigasi rahasia yang dilakukan EIA mengungkap kejahatan transnasional terhadap satwa liar dengan berfokus pada gajah, trenggiling, dan harimau, serta kejahatan kehutanan seperti pembalakan liar dan deforestasi untuk tanaman komersial seperti sawit; EIA bekerja untuk melindungi ekosistem laut global melalui kampanye untuk mengatasi polusi plastik, mengungkap praktik penangkapan ikan ilegal, dan berupaya mengakhiri penangkapan semua jenis paus. EIA juga berupaya mengatasi ancaman pemanasan global dengan melakukan kampanye untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) dari zat pendingin dan mengungkap perdagangan gelap yang
  2. Kaoem Telapak (KT) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan yang memusatkan perhatian di bidang kehutanan, pertanian, perikanan, serta hak penduduk setempat dan masyarakat adat. KT bekerja untuk memperkuat tata kelola di bidang-bidang yang luas dan saling beririsan satu sama lain ini, termasuk memantau terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan melanggar hukum dan menyampaikan hasil termuannya. Pada tahun 2016, KT berkembang dari organisasi Telapak yang didirikan tahun 1966. KT adalah organisasi yang berbasis anggota.
  3. Laporan Criminal Neglect: Gagalnya Penegakan Hukum Dalam Menghentikan Pembalakan Liar di Indonesia, dapat diunduh di website Kaoem Telapak kaoemtelapak.org, pada Rabu, 13 Januari 2021, pukul 14.00 WIB.

 

Kaoem Telapak Jl. Sempur No. 5
Kel. Sempur Kec. Bogor Tengah Bogor 16129 Jawa Barat – Indonesia www.kaoemtelapak.org
Tel: +622518576443

Environmental Investigation Agency 62-63 Upper Street
London N1 0NY UK
www.eia-international.org Telp: +44 (0) 20 7354 7960