Shadowy brokers threaten timber laws & EU trade deal
Press release issued today by Forest Watch Indonesia in conjunction with the Environmental Investigation Agency and the Independent Forestry Monitoring Network (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, or JPIK):
.
JAKARTA: Legal loopholes in a controversial 2015 Minister of Trade Decree are being illegally and cynically exploited by a coterie of timber traders masquerading as small and medium enterprises, significantly weakening Indonesia’s flagship timber legality scheme, a new investigative report – Loopholes in Legality – has found.
The offending Minster of Trade Decree (No.89/2015) exempts 15 product types from requirements to certify timber sources and factory practices under Indonesia’s mandatory Timber Legality Verification System, the SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). The Decree also removes company requirements to register with Indonesia’s Forestry Industry Products Exporter Registry (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan or ETPIK).
Importantly, it allows companies to freely export exempted products by removing the provision to self-report on legal compliance using Export Declarations (ED), introduced in 2014 as a transitional mechanism. This has significantly weakened the SVLK’s role in ensuring legality of traded timber products. Previous relevant Trade Minister Decrees had limited such self-reporting to small and medium enterprises (SMEs) and prohibited the practice after December 31, 2015, thereby ensuring all wood products exports were certified legal thereafter.
Investigations detailed in Loopholes in Legality were conducted in 2015 and 2016 by Forest Watch Indonesia (FWI), the Independent Forestry Monitoring Network (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan or JPIK), and the UK-based Environmental Investigation Agency (EIA). Investigators examined those companies exporting most frequently using Export Declarations, all of which claimed to be members of the Indonesian Furniture and Craft Association (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia or AMKRI).
Serious irregularities were identified, including:
* opaque companies exporting thousands of shipments worth millions of dollars using Export Declarations technically reserved for SMEs;
* companies not actually operating forestry industries (mills or factories) themselves but merely acting as brokers for products made elsewhere, despite being registered as forestry industries
* companies selling Export Declarations to other companies that do not qualify for them, are not SVLK certified and would not otherwise be allowed to export at all;
* companies not properly registering with relevant Government agencies.
Companies performing these illegitimate practices include CV V&V Logistic and CV Greenwood International, both based in Semarang, Central Java, and CV Rejeki Tirta Waskhita and CV Devi Fortuna based in Jepara, also in Central Java. These companies have exported to the United States using thousands of Export Declarations throughout 2015, despite no timber industry production or processing activities taking place at their addresses.
Muhamad Kosar, JPIK’s National Coordinator, said: “Since their introduction in 2015, the use of Export Declarations has been dominated by a small coterie of AMKRI companies that do not appear to be SMEs or run legitimate timber industries. These are opaque traders and brokers clearly exploiting loopholes provided by the Ministry of Trade to circumvent mandatory timber legality certification under the SVLK.
“Our investigations highlight how the removal of independent checks on the legal compliance of exporting timber industries – by allowing exports without SVLK compliance – is fundamentally weakening Indonesia’s timber legality verification system. Minister of Trade Decree No. 89/2015 must be revised immediately.”
Christian Purba, FWI’s Executive Director, added: “Trade Minister Decree 89/2015 is substantially weaker than the previous provisions and introduces structural inconsistencies in Indonesia’s hard-fought battle to improve forestry governance through SVLK implementation.”
Faith Doherty, EIA’s Forest Campaign Leader, stated: “This Minister of Trade Decree structurally and technically violates the objectives and mechanisms of both the SVLK and the EU-Indonesia Voluntary Partnership Agreement (VPA) – both of which Indonesia has developed over a decade. It must be amended immediately or it will disrupt the scope and timeframe for Indonesia-EU Voluntary Partnership Agreement (VPA) implementation, likely resulting in the need to renegotiate the VPA”.
Contacts for Interview:
Christian Purba: +62 8121105172; [email protected],id
Muhamad Kosar: +62 81318726321; [email protected]
Faith Doherty: +44 7583284070; [email protected]
Editor’s Notes
ends
.
.
JAKARTA: Sebuah laporan investigasi yang diluncurkan hari ini – Celah dalam Legalitas – mengungkap bagaimana Peraturan Menteri Perdagangan yang dikeluarkan pada 2015 telah dieksploitasi oleh sejumlah pengusaha kayu yang mengatasnamakan industri kecil dan menengah, yang secara signifikan telah melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu yang berlaku di Indonesia.
Peraturan Menteri Perdagangan No. 89/2015 ini mengeluarkan 15 jenis produk kayu dari kelompok mebel dan perabotan dari aturan mengikuti sertifikasi wajib Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memverifikasi legalitas bahan baku dan operasional usaha. Peraturan ini juga menghilangkan kewajiban perusahaan untuk terdaftar sebagai ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan) yang sebelumnya merupakan syarat menjadi eksportir.
Terlebih lagi, peraturan ini membolehkan perusahaan untuk bebas mengekspor produk mebel dan perabotan tanpa harus menggunakan Deklarasi Ekspor, suatu aturan transisi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan pada tahun 2014. Hal ini secara signifikan melemahkan peran SVLK dalam memastikan legalitas produk kayu yang diperjualbelikan. Permendag sebelumnya membatasi penggunaan Deklarasi Ekspor hanya untuk IKM dan berlaku hingga 31 Desember 2015, yang artinya setelah itu seluruh produk kayu yang diekspor harus tersertifikasi legal.
Investigasi dalam laporan –Celah dalam Legalitas- dilaksanakan pada 2015 dan 2016 oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) dan Environmental Investigation Agency (EIA). Para pemantau menyelidiki beberapa perusahaan yang paling banyak mengekspor produk kayu dengan menggunakan Deklarasi Ekspor –semuanya mengaku sebagai anggota Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI).
Hasil pemantauan menemukan sejumlah pelanggaran, yang meliputi:
* perusahaan-perusahaan hitam melakukan ribuan pengapalan dengan tujuan ekspor yang bernilai miliaran rupiah dengan menggunakan Deklarasi Ekspor yang harusnya hanya bisa digunakan oleh IKM;
* meskipun terdaftar sebagai industri kehutanan, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya tidak beroperasi sebagai industri (pengolahan atau pabrik), tapi lebih berperan sebagai pedagang atau broker bagi produk kayu yang diproduksi di tempat lain;
* perusahaan-perusahaan tersebut menjual Deklarasi Ekspor kepada perusahaan lain yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak bersertifikat SVLK sehingga seharusnya tidak bisa mengekspor;
* perusahaan tidak terdaftar dalam instansi pemerintah terkait.
Beberapa perusahaan yang teridentifikasi melakukan berbagai pelanggaran ini adalah CV V&V Logistic dan CV Greenwood International yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah, dan CV Rejeki Tirta Waskitha dan CV Devi Fortuna yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah. Perusahaan- perusahaan ini telah mengekspor ke Amerika Serikat dengan menggunakan ribuan DE sepanjang tahun 2015, meskipun tidak ada kegiatan produksi atau pengolahan industri kayu yang berlangsung di alamat mereka.
Muhamad Kosar, Dinamisator Nasional JPIK, mengatakan: “Sejak dikeluarkan pada tahun 2015, penggunaan Deklarasi Ekspor telah didominasi oleh sekelompok kecil perusahaan anggota AMKRI yang tidak terlihat sebagai IKM atau menjalankan industri kayu yang sah. Ini adalah pedagang hitam dan broker yang jelas mengeksploitasi celah yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan untuk menghindari kewajiban sertifikasi legalitas kayu dalam SVLK.
“Pemantauan kami menyoroti bagaimana penghilangan pemeriksaan independen atas kepatuhan legalitas para industri pengekspor –dengan membolehkan ekspor tanpa memenuhi kewajiban SVLK- telah secara fundamental melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu Indonesia. Permendag No.89/2015 ini harus secepatnya direvisi.”
Christian Purba, Direktur Eksekutif FWI menambahkan: “Permendag No.89/2015 secara subtansi jauh lebih lemah dari peraturan-peraturan sebelumnya dan menciptakan inkonsistensi struktural dalam upaya keras Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan melalui pelaksanaan SVLK.”
Faith Doherty, pimpinan kampanye hutan EIA menyatakan: “Permendag ini secara struktural dan teknis telah melanggar tujuan dan mekanisme dari SVLK dan Perjanjian kerjasama Uni Eropa- Indonesia (VPA) yang telah dibangun lebih dari satu dekade. Peraturan ini harus segera direvisi, atau akan mengganggu ruang lingkup dan tata waktu pelaksanaan VPA, yang kemungkinan akan berakibat pada perlunya negosiasi ulang VPA.”
Kontak Untuk Wawancara:
Christian Purba: +62 8121105172; [email protected],id
Muhamad Kosar: +62 81318726321; [email protected]
Faith Doherty: +44 7583284070; [email protected]
Catatan Editor
ends