Close up image of a stack of newspapers

Landmark Indonesia/EU legal timber deal goes live today

Landmark legal timber trade deal between Indonesia and EU comes into effect today

 

JAKARTA: The landmark Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) licensing agreement between the European Union and Indonesia officially came into effect today to keep illegal logged timber out of EU supply chains.

More than a decade of work and negotiations have led to this moment, demonstrating that Indonesia’s Timber Legality Assurance System (TLAS) has been recognised as fit for purpose by the EU. Indonesia’s TLAS system is called SVLK-

The challenge now remains for Indonesia to consistently implement the TLAS with credibility and accountability.

After 14 years of system development and nine years in a Voluntary Partnership Agreement with the EU, Indonesia has finally become the first country in the world to be granted a FLEGT licence. In future, timber products from Indonesia will not need to go through due dilligence process and will automatically enter the green lane of customs on arrival in the EU.

However, Indonesia must continue to work hard to maintain the credibility of the system through proven serious commitment to act on findings of TLAS implementation violations. Various violation reports submitted by independent investigators – such as findings on maladministration, license forgery and fraud through practices of borrowing other company names – must be followed up with effective law enforcement. Moreover, strengthening the TLAS standard through improvement of various policies is also critical in order to achieve sustainable and just forest management.

Muhamad Kosar, National Coordinator of Indonesia’s Independent Forest Monitoring Network (JPIK), said: “This progress must be appreciated and taken as proof of serious commitment from various stakeholders in Indonesia in an effort to reform the forestry sector formally rife with illegality and corruption. This initiative has forced various stakeholders to improve and demonstrate their accountability, which in the long term will improve forest governance.

“To date, TLAS is the one and only system in the world that was developed with multi-stakeholder participation to root out the illegal timber trade and deforestation.

“Through this scheme, all timber business actors and their practices are now being audited to ensure compliance to law and regulation.”.

Faith Doherty, Forest Campaign Leader with the Environmental Investigation Agency (EIA), said: “The European Union must carry the same burden of responsibility as the Government of Indonesia to ensure EU countries only receive legal timber.

“Moreover, the EU must continue to strengthen the implementation of the EU Timber Regulation and ensure appropriate monitoring and law enforcement, while also swiftly following up information on illegal timber trade entering the EU, including information submitted by independent investigators.”

 

CONTACTS FOR INTERVIEW:

Muhamad Kosar, JPIK – mkosar[at]fwi.or.id
Faith Doherty, EIA – faithdoherty[at]eia-international.org

 

EDITOR’S NOTES:

  • Jaringan Pemantau Independen Kehutanan or JPIK, is an independent Forest Monitoring Network established on September 23, 2010 with 64 NGOs members stretching from Aceh to Papua. JPIK’s core mandate is to monitor and strengthen the SVLK and its implementation as a key tool in bringing about better forestry and trade governance.
  • The Environmental Investigation Agency (EIA) investigates and campaigns against environmental crime and abuses.
  • Voluntary Partnership Agreements (VPAs) are bilateral agreements between timber-producing countries and the European Union (EU), seeking to eliminate trade in illegal timber and wood products. VPAs involve the negotiation of Timber Legality Assurance Systems, which underpin VPA Licences issued against verified legal timber consignments. VPA Licensed timber shipments are offered a “Green Lane” into the EU market and are exempt from the EU Timber Regulation – which itself prohibits illegal timber trade in the EU.
  • The SVLK is the legal base underpinning the VPA in Indonesia. The SVLK is a mandatory requirement for all timber producers, processors and exporters to be independently audited for compliance with a Legality Verification standard that includes criteria, indicators, verifiers, verification methods, and assessment norms developed through a multi-stakeholder negotiation process.
  • FLEGT licensing is recognition of the SVLK (full implementation of the VPA), so the EU no longer needs to perform due diligence. FLEGT licensing cannot begin until a joint assessment of the timber legality assurance system by Indonesia and the EU confirms that the system is fully operational, as described in the VPA. The evaluation criteria are defined in Annex VIII of the VPA.
  • On September 15, 2016, JPIK issued a Statement entitled ‘Enforcement of FLEGT License must become a landmark for sustainability in improving forest governance’ for more information please following this link: http://jpik.or.id/enforcement-of-flegt-licence-must-become-a-landmark-for-sustainability-in-improving-forest-governance/

 

ends

 

Kredibilitas SVLK Harus Terus Ditingkatkan Agar Lisensi FLEGT Berjalan Sesuai Harapan

Jakarta, 15 November 2016. Pelaksanaan penuh perjanjian kerja sama perdagangan kayu antara Indonesia dan Uni Eropa secara resmi dimulai hari ini, yang ditandai dengan diberlakukannya lisensi FLEGT. Hal ini menunjukkan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang digunakan sebagai sistem jaminan legalitas kayu Indonesia telah diakui oleh negara-negara di Uni Eropa.  Pengakuan atas SVLK merupakan keberhasilan sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk dapat secara konsisten melaksanakan SVLK secara kredibel dan akuntabel.

Setelah melalui proses 14 tahun dalam pengembangan sistem dan 9 tahun proses perjanjian kerjasama sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) dengan Uni Eropa, Indonesia akhirnya menjadi negara pertama di dunia yang menerima lisensi FLEGT. Melalui skema ini, produk kayu Indonesia yang bersertifikat SVLK tidak perlu lagi melalui proses uji tuntas (due diligence) dan secara otomatis akan masuk melalui green lane kepabeanan negara tujuan di Uni Eropa.

Namun demikian, Indonesia harus tetap bekerja keras untuk menjaga kredibilitas sistem dengan menunjukan keseriusan dalam menindaklanjuti temuan pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan SVLK.  Berbagai laporan pelanggaran yang disampaikan oleh pemantau independen seperti temuan bentuk-bentuk mal-administrasi, modus pemalsuan lisensi dan penipuan melalui praktek pinjam bendera harus ditindaklanjuti melalui penegakan hukum yang efektif.  Selain itu, penguatan standar SVLK melalui perbaikan berbagai regulasi juga penting dipastikan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari dan berkeadilan.

Muhamad Kosar, Dinamisator Nasional JPIK menyatakan, “Perkembangan saat ini patut diapresiasi dan dibaca sebagai keseriusan seluruh pihak di Indonesia terhadap upaya mereformasi sektor kehutanan yang sarat ilegalitas dan korupsi. Meskipun sistem ini belum sempurna tapi inisiatif ini telah memaksa berbagai pihak untuk melakukan perbaikan dan menunjukan akuntabilitasnya, yang dalam jangka panjang akan berdampak pada membaiknya tata kelola kehutanan.”

“Saat ini SVLK merupakan satu-satunya sistem yang diterapkan secara mandatory untuk menangani peredaran dan perdagangan kayu ilegal serta perusakan hutan, dimana sistem ini dibangun dengan melibatkan parapihak. Melalui skema ini, seluruh pelaku usaha perkayuan dan perdagangannya diaudit untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku.” Tegas Kosar

Faith Doherty, Forest Campaign Leader EIA mengatakan, “Pihak Uni Eropa semestinya menanggung beban yang sama dengan Pemerintah Indonesia.  Negara-negara Uni Eropa wajib hanya menerima kayu legal. Selain itu, Uni Eropa harus terus melakukan penguatan pelaksanaan EU Timber Regulation dan memastikan pengawasan dan penegakan hukum serta tindak lanjut terhadap informasi perdagangan kayu ilegal ke Uni Eropa, termasuk yang dilaporkan oleh pemantau ndependen.”

 

Kontak Untuk Wawancara:

Muhamad Kosar: +62 81318726321; mkosar.jpik@gmail.com;
Faith Doherty: +44 7583284070; faithdoherty@eia-international.org;

 

Catatan Editor

  • JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010, beranggotakan 51 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua. Pembentukan  JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi SVLK
  • EIA (Environmental Investigation Agency) adalah lembaga independen yang dibentuk pada tahun 1984, sebuah organisasi kampanye internasional yang berkomitmen untuk melakukan investigasi dan mempublikasi kejahatan lingkungan. EIA telah melakukan investigasi mengenai pembalakan liar di Indonesia sejak 1999.
  • VPA adalah perjanjian bilateral dalam kerangka Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) antara Negara produsen kayu dan Uni Eropa, yang bertujuan membasmi perdagangan kayu illegal. VPA meliputi negosiasi mengenai Sistem Jaminan Legalitas kayu dan Lisensi ekspor FLEGT yang dikeluarkan bagi produk kayu yang terverifikasi legal. Pengiriman kayu dengan lisensi Ekspor FLEGT akan mendapatkan “jalur hijau” ke pasar Uni Eropa dan terbebas dari undang-undang EU Timber Regulation. FLEGT-VPA antara Indonesia dan EU ditandatangani pada 30 September 2013 dan telah diratifikasi kedua belah pihak pada 2014.
  • SVLK adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, sebuah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK merupakan sistem jaminan legalitas kayu yang diakui dalam VPA antara Indonesia dan Uni Eropa.
  • Lisensi FLEGT adalah pengakuan atas skema SVLK (pelaksanaan penuh VPA), sehingga pihak Uni Eropa tidak perlu lagi melakukan uji tuntas. Lisensi FLEGT tidak bisa dimulai sampai suatu penilaian gabungan dari sistem verifikasi legalitas Indonesia dan UE mengkonfirmasi bahwa sistem tersebut sudah operasional secara penuh, sebagaimana dijabarkan di dalam VPA. Kriteria evaluasi dijabarkan di dalam Annex VIII dari VPA. Sampai dengan September 2016, Indonesia telah memiliki lebih dari 20 lembaga otoritas penerbit lisensi FLEGT.
  • Pada tanggal 15 September 2016, JPIK mengeluarkan Pernyataan Sikap yang berjudul ‘Pemberlakuan Lisensi FLEGT harus menjadi tonggak keberlanjutan perbaikan tata kelola hutan’ pernyataan sikap selengkapnya bisa diunduh dilink berikut ini: http://jpik.or.id/pemberlakuan-lisensi-flegt-harus-menjadi-tonggak-keberlanjutan-perbaikan-berkelanjutan-tata-kelola-kehutanan-secara-terus-menerus/

 

ends